kabarkutim.com.com, Jakarta – Ekonom dan CEO CELIOS Bhim Yudhisthir menilai paket kebijakan ekonomi pemerintah berorientasi jangka pendek dan kurang inovasi yang signifikan.
Pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
“Insentif dan insentif pemerintah hampir duplikat dari insentif yang sudah ada. DTP PPN Perumahan, PPN Kendaraan Listrik, dan PPh Final UMKM 0,5% sudah diterapkan. Bentuk dukungannya berupa potongan listrik, subsidi beras 10 kg bersifat sementara, berlaku 2 bulan,” ungkapnya. Bheem Davaa, meski dampak negatif kenaikan PPN 12%. kepada pers, Minggu (16/12/2024).
Di sisi lain, pemerintah memberikan insentif PPN DTP sebesar tiga persen untuk mobil hybrid. Menurutnya, sikap pemerintah yang lebih memihak pada kelompok kaya jelas merupakan sebuah kontradiksi, karena kelas menengah terpaksa membeli mobil hibrida pada saat perekonomian sedang melambat.
“Hibrida sangat mahal dan hanya pengguna kendaraan listrik yang beralih ke hibrida hemat bahan bakar kelas menengah. Bagaimana hal itu bisa disebut penghindaran pajak?” kata Bima.
Menurut Bhima, PPN sebesar 12% masih berdampak besar pada banyak produk yang dikonsumsi masyarakat, seperti peralatan elektronik dan suku cadang mobil.
“Apakah deterjen dan sabun mandi termasuk barang terjangkau? Retorika pemerintah bertentangan dengan bias pajak. Selain itu, kenaikan PPN sebesar 12 persen akan berdampak lemah terhadap konsumsi masyarakat dan peredaran pemilik usaha, sehingga tidak akan memberikan kontribusi banyak terhadap penerimaan pajak karena akan mempengaruhi penerimaan pajak lainnya seperti pajak penghasilan badan, PPH 21, dan pajak bea cukai.” Kesimpulannya, Bima.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Shri Mulyani Indrawati menjelaskan, keputusan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada awal tahun 2025 dinilai memakan waktu lama dan berat. Kebijakan PPN 12 persen diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Peraturan Perpajakan.
Shri Muliani menjelaskan, UU HPP yang disahkan pada 29 September 2021 tidak hanya mengatur regulasi perpajakan tetapi juga mencakup kebijakan yang pro masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan menyesuaikan tarif PPN secara bertahap.
Sebelumnya, tarif PPN dinaikkan dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022 yang bertujuan untuk mendukung pemulihan perekonomian nasional pasca pandemi. Begitu pula kenaikan berikutnya dari 11 persen menjadi 12 persen yang berlaku mulai 1 Januari 2025.
“Saat itu, bahkan setelah pandemi, kami menaikkan pajak dari 10 persen menjadi 11 persen pada 10 April 2022. Kemudian DPRK memutuskan untuk menunda kenaikan pajak berikutnya hingga 1 Januari 2025. Hal ini akan memungkinkan masyarakat untuk pulih dengan baik. waktu,” jelas Sri. Muliani pada Senin (16/12/2024) saat konferensi pers di Peraturan Kementerian Perekonomian.
Menkeu menegaskan, dalam pembahasan UU HPP akan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat, termasuk kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Melalui undang-undang tersebut, pemerintah memberikan diskon berupa pembebasan PPN dan diskon terhadap barang-barang kebutuhan pokok yang banyak digunakan masyarakat. Ini mencakup sektor makanan, pendidikan, kesehatan, transportasi dan layanan sosial lainnya. Tujuannya adalah untuk mengurangi beban masyarakat dan memastikan akses yang adil terhadap barang dan jasa penting.
“Hampir semua pihak sepakat bahwa pemerintah harus memberikan dukungan kepada masyarakat berpenghasilan rendah hingga menengah. “Bias ini diwujudkan melalui pemberian pembebasan PPN atas barang kebutuhan pokok berupa barang dan jasa konsumsi,” kata Muliani. Perhatian yang detail dan canggih
Shri Muliani menambahkan, kebutuhan seluruh masyarakat dipertimbangkan secara matang dan mendalam dalam pembahasan UU HPP.
Oleh karena itu, ketika kami membahas UU HPP, kami memikirkan dengan matang kebutuhan masyarakat dan situasi saat ini, tutupnya.