kabarkutim.com.com, Pemerintah Jakarta berupaya mengubah ibu kota Indonesia (sebelumnya Jakarta) menjadi ibu kota Kalimantan Timur (IKN).
Tujuan pemindahan ibu kota adalah untuk mencapai keseimbangan pembangunan di wilayah timur dan barat Indonesia. Sehingga, menghilangkan kesenjangan dan mempercepat pemerataan pembangunan.
Upaya pemindahan ibu kota ini memicu berbagai perdebatan di berbagai isu, salah satunya adalah kependudukan. Isu demografi IKN dinilai menarik karena mayoritas warga IKN berada pada usia produktif.
Dr Hasto Vardoyo, Direktur Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), mengatakan peluang bonus demografi bagi IKN positif.
Namun yang perlu kita ingat, hal tersebut bisa saja salah karena banyaknya pendatang usia kerja yang datang secara tiba-tiba ke sana, Kamis, 27 Juni 2024.
Dampak masuknya pendatang usia kerja ke IKN adalah jumlah penduduk bekerja lebih banyak dibandingkan penduduk tidak bekerja.
Sayangnya, uang tersebut belum tentu disalurkan ke IKN karena anggota keluarganya tidak berada di Pulau Jawa atau di luar IKN. Akibatnya, pendapatan menjadi “pelarian modal”, dikirimkan atau ditransfer ke rumah tangga.
Oleh karena itu, Hasto menekankan pentingnya fokus IKN terhadap proporsi penduduk dan kemungkinan terjadinya bonus demografi.
Lebih lanjut, Hesto memperkirakan populasi lansia di Indonesia akan meningkat pada tahun 2035. Sebaliknya generasi penerus khususnya generasi Z adalah generasi strawberry yang lebih kreatif namun tidak lemah dan tidak kuat.
Angka Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan hal tersebut. Diketahui bahwa terdapat sekitar 9,9 juta orang berusia 15-24 tahun di Indonesia yang tidak bekerja atau bersekolah (tidak bekerja, tidak berpendidikan atau tidak terlatih).
Jumlah tersebut setara dengan 22,25% dari total populasi pemuda di Indonesia.
“Diasumsikan rata-rata lama pendidikan adalah 9,4 tahun. Jadi wajar jika penduduk yang tidak mengenyam pendidikan dasar dan menengah lebih banyak dibandingkan dengan lulusan perguruan tinggi,” kata Dr. Hastot.
Hasto mengatakan BKKBN berupaya keras meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Caranya adalah dengan berasumsi bahwa pernikahan dini tidak terjadi.
Ia meminta remaja tidak menikah terlalu dini. Sebab, berbagai masalah mungkin saja terjadi di awal kehamilan.
Wakil Kepala Biro Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Nasional Kependudukan dan Keluarga Berencana ini mengatakan Wahidin akan menghadapi banyak risiko jika menikah dini.
“Kalau masih muda, ada risiko bagi yang sedang hamil karena panggulnya belum sempurna. Seringkali panggul menjadi terhambat saat melahirkan. Terlalu lama berada di dalam rahim bisa menyebabkan kematian baik bagi bayi maupun ibunya, ujar Vahidin pada Juni 2024 kepada Health kabarkutim.com.com saat ditemui di Semarang, Kamis, 27.
“Dengan demikian, kematian ibu dan bayi sebagian besar disebabkan oleh kehamilan pada usia muda dan tua. Oleh karena itu, kampanye kami cocok untuk kelompok usia hamil 21 hingga di atas 35 tahun,” tambahnya.
Wahidin pun mengutarakan pandangannya mengenai usia pernikahan di Indonesia. Menurutnya, angka pernikahan di Indonesia tergolong aneh. Meski ada yang sudah sangat tua, ada juga yang masih sangat muda.
“Memang ini agak aneh di Indonesia, artinya ada data, usia menikah masih sangat muda. Dulu, yang termuda baru berusia 16 tahun, tapi sekarang sangat sedikit orang yang menikah.”
“Tapi di data lain, ada juga kelompok yang usia menikahnya di atas 30 tahun. Rata-rata usia di Indonesia saat ini 22 tahun, tapi kalau dilihat dari datanya, ada yang sudah sangat tua dan ada juga yang masih sangat muda.”
“Terlalu tua atau terlalu muda, keduanya sama-sama buruk,” pungkas Wahidin.