Santunan Korban Gagal Ginjal Akut Telat, Muhadjir Effendy Ungkap Alasannya

santunan korban gagal ginjal akut telat muhadjir effendy ungkap alasannya 62e152a

kabarkutim.com.com, Jakarta Santunan pemerintah untuk korban Krisis Atipikal (AGPPA) baru tersalurkan pada Rabu, 10 Januari 2024. Timbul pertanyaan: mengapa santunan dianggap terlambat padahal kejadian IDD terjadi dua tahun lalu?

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI mengakui adanya keterlambatan pemberian santunan kepada korban pada anak.

Bacaan Lainnya

Sebab, banyak proses yang harus dilalui. Mulai dari berkoordinasi dengan Kementerian Sosial (Kemensos) hingga menyerahkan besaran santunan ke Kementerian Keuangan RI (Kemenkeu). Kompensasi sosial termasuk dalam anggaran negara

Dari Kementerian Keuangan, permintaan tersebut dikirimkan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mendapat persetujuan. Aspek teknis pemberian bansos hingga saat ini disalurkan memakan banyak waktu, apalagi masuk dalam APBN.

“Ini kesalahan kita karena prosesnya lama. Karena itu APBN, harusnya bijaksana dan tidak boleh ada masalah,” jelas Muhadjir dalam acara “Santunan Korban Gagal Ginjal Progresif Atipikal Progresif” pada anak-anak” oleh Koordinator Kementerian Pembangunan Manusia dan Pemajuan Kebudayaan, Jakarta, Rabu, 10 Januari, 2024.

Msgstr “Detail setiap orang harus divalidasi, jika seseorang tidak masuk dan tidak mau masuk atau sebaliknya.”

Muhadjir Effendy melanjutkan, proses pengajuan santunan korban gagal ginjal akut sudah berlangsung lama. Namun, diakuinya, teknis prosesnya memang panjang.

Ia juga meminta maaf kepada keluarga dan teman-teman korban atas keterlambatan pemberian bantuan.

“Ini dari kami PMK Kemenko, teknisnya karena prosesnya masih panjang karena itu APBN. Jadi sebenarnya sudah lama kami proses,” kata Menko Muhadjir.

Sedangkan bantuan berupa santunan sebesar Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) diberikan kepada korban gagal ginjal progresif atipikal yang meninggal dunia.

Sedangkan korban Bedah Ginjal Atipikal Progresif yang sudah sembuh atau masih menjalani pengobatan medis dan rehabilitasi mendapat santunan sebesar Rp60.000.000 (enam puluh juta rupiah) dengan rincian Rp50.000.000 untuk bantuan dan Rp10.000.000 untuk biaya transportasi.

Pemerintah akhirnya resmi memberikan santunan kepada korban Atipikal Progresif Akut Syndrome (AGPAP). Pemerintah juga prihatin dengan tingginya kasus ADD yang menyerang anak-anak.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, jumlah korban GGAPA sebanyak 312 korban. Rinciannya, korban meninggal dunia sebanyak 218 orang dan korban sembuh atau rawat jalan sebanyak 94 orang.

Muhadjir Effendy mengatakan, korban gagal ginjal akut tersebar di 27 provinsi, dengan jumlah kasus terbanyak di Provinsi DKI Jakarta.

“Hari ini kami memberikan santunan kepada korban kasus gagal ginjal akut khususnya di wilayah DKI Jakarta. Jadi mohon jangan sampai ada yang mengerti bahwa santunan ini adalah upaya kami untuk mencegah agar (kasusnya) tidak diproses lagi. Tidak , tidak, begitu,” katanya. Proses hukum terhadap kasus gagal ginjal akut selalu dihormati

Kompensasi pemerintah sebagai bentuk kepedulian. Proses hukum yang berjalan juga dihormati.

“Sekali lagi, kompensasi ini bersifat murni dan merupakan bentuk perhatian, kepedulian dan simpati Pemerintah terhadap situasi ini,” kata Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir.

“Kami menghormati segala hal lainnya, termasuk proses hukum, dan kami mengikutinya dengan benar.”

Anggota Komisi IX DPR Netty Prasetiyani Aher sebelumnya meminta Pemerintah segera menyalurkan dana santunan korban cedera ginjal akut atipikal akut (AGPPA) kepada keluarga korban.

Kenapa lagi pemerintah menunggu? Kenapa proses distribusinya lambat dan lama, padahal biaya kesembuhan yang dikeluarkan pasien terus berlanjut, kata Netty dalam keterangan tertulisnya, Kamis (30/11/2023).

Berdasarkan laporan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), ratusan anak pengidap kasus GGAPA masih dalam tahap pemulihan. Bahkan, ada satu laporan kasus kebutaan.

Menurut Netty, anak dengan kasus GGAPA mungkin mengalami gangguan dan gangguan tumbuh kembang.

“Pasien yang saya temui memiliki pertumbuhan tubuh yang tidak normal, bahkan tidak bisa berbicara, duduk, dan harus menjalani fisioterapi,” jelasnya.

“Siapa yang menanggung biaya pemulihannya, jika sampai saat ini Kementerian terus saling mencalonkan siapa yang harus bertanggung jawab untuk mencairkan dana kompensasi? Jangan sampai proses panjang ini semakin memperparah korban GGAPA’, kata Netty.

“Negara harus bisa memberikan pengobatan dan pemulihan kepada mereka, bukan bersikap tenang seolah-olah tidak ada masalah. Negara juga harus menjamin masa depan anak-anak cacat yang mengalami kerusakan akibat kelalaian pengawasan narkoba di negara ini.”

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *