kabarkutim.com.com, Jakarta – Seorang wanita Amerika asal Palestina dibawa paksa dari rumah keluarganya oleh tentara Israel (IDF) pada Senin, 5 Februari 2024. Juru bicara IDF mengatakan AS ditangkap atas tuduhan menghasut orang di media sosial.
Kini keluarganya di AS dan pemerintahan Biden sedang mencari informasi tentang keberadaan dan kasusnya. 29 Februari 2024 CBS News melaporkan tentara IDF memaksa masuk ke rumah keluarga tersebut di kota Silwad, Tepi Barat yang diduduki Israel, Senin, 5 Januari 2024.
Dia segera mengambil email itu tanpa peringatan. Hingga saat ini, pihak keluarga belum mendengar kabar keberadaan Esmail.
Sebuah video yang diunggah ke media sosial oleh putranya menunjukkan kendaraan lapis baja IDF di luar rumah mereka. Gambar dan video yang dibagikan CBS News menunjukkan buntut penangkapan Esmail yang menyebabkan jendela pecah dan benda berserakan di ruangan.
“Mereka membawanya tanpa hijab,” kata Ibrahim Hamad, putra Esmail.
“Mereka tampaknya tidak menghormati dia,” tambah Hamed.
Dalam pernyataan media, IDF membantah bahwa Ismail ditangkap oleh polisi Israel, bukan militer. Dia dituduh melakukan penghasutan setelah memposting konten di media sosial yang menargetkan Hamas. Hamed mengatakan postingan ibunya di media sosial hanya menyerukan kemerdekaan Palestina dan tidak pernah mendukung Hamas.
“Banyak warga Palestina yang tidak mendukung Hamas, mereka ingin diakhirinya pendudukan Palestina oleh Israel. Ketika warga Palestina berkata, ‘Kami kuat, kami akan mengatasi pendudukan ini,’ itu bukanlah sesuatu yang menginspirasi kekerasan,” tambah Hamed.
IDF mengatakan pihaknya tidak dapat memberikan informasi lebih lanjut mengenai aktivitas media sosial yang menyebabkan penangkapan Esmail. Adik perempuan Esmail, Sana Esmail, sangat khawatir dengan kondisi Esmail karena ia didiagnosis menderita kanker ovarium dan membutuhkan pengobatan.
Departemen Luar Negeri AS menyatakan pihaknya mengetahui adanya laporan mengenai seorang warga negara Amerika yang ditahan di Tepi Barat. Mereka mencari informasi lebih lanjut dan siap memberikan semua bantuan yang diperlukan di konsulat.
Melalui email, keluarganya meminta pemerintah AS untuk melakukan segalanya untuk menjamin keselamatannya. “Kami tidak tahu di mana dia berada di penjara. Kami hanya mengetahui sedikit informasi dan sebagian besar informasi hanyalah desas-desus,” kata Hamed.
Pengacara dan organisasi hak asasi manusia di Israel memberikan peringatan segera setelah operasi Israel melawan Hamas di Gaza dimulai. Para pendukung menggambarkan operasi militer ini sebagai bentuk penindasan terhadap kebebasan berekspresi di Palestina, khususnya wilayah yang diduduki tentara Israel.
Sebelumnya, remaja Palestina-Amerika Tawfiq Abdel Jabbar (17) tewas akibat tembakan Israel di kota yang sama dengan Esmail di Silwad, Tepi Barat. Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengatakan pada 19 Januari 2024 bahwa Tepi Barat hancur akibat terbunuhnya Jabbar.
“Kami akan terus berhubungan dengan pemerintah Israel mengenai kematian Jabbar yang meresahkan,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS kepada CBS News.
“Kami memahami bahwa pemerintah Israel sedang menyelidiki insiden tersebut. Kami menuntut hal ini dilakukan sesegera mungkin dan kami berharap dapat melihat temuan bukti-bukti secepatnya, termasuk langkah-langkah akuntabilitas yang diambil oleh pemerintah Israel. . . ,” dia menambahkan.
Polisi Israel mengonfirmasi kepada CBS News bahwa mereka sedang menyelidiki pembunuhan tersebut. Penembakan Jabbar dilaporkan melibatkan petugas penegak hukum yang sedang tidak bertugas, seorang tentara, dan seorang warga sipil.
IDF menyebut tembakan tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang diyakini bersalah melakukan aktivitas pelemparan batu di sepanjang Highway 60, Tepi Barat. Tidak ada hasil penyelidikan polisi yang dirilis sejak penembakan tersebut.
Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh mengumumkan pengunduran dirinya pada Senin, 26 Februari 2024. Keputusan mundur diambil karena eskalasi politik, keamanan, dan ekonomi serta perkembangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terkait agresi terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza, Tepi Barat, termasuk kota Yerusalem.
Shtayye disebut-sebut mengundurkan diri karena tekanan besar Amerika terhadap Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas. AS dilaporkan sedang merancang struktur politik yang akan mengambil kendali Otoritas Palestina setelah perang antara Hamas dan Israel.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak seruan untuk memaksa Otoritas Palestina mencaplok Gaza. Dia mengatakan parlemen Israel sekaligus menolaknya karena alasan keamanan Israel.
Pemerintah Otoritas Palestina menuding keputusan Israel yang menyandera hak-hak sipil warga Palestina di Jalur Gaza. Kementerian Luar Negeri Palestina menyatakan tidak akan menyerah pada agresi.
Persetujuan Netanyahu tidak diperlukan untuk keanggotaan penuh Palestina di PBB dan pengakuan kemerdekaannya, kata Kementerian Luar Negeri Palestina.